ASAL USUL DAN SEJARAH CAP GO MEH
Perayaan Cap Go Meh akan segera berlangsung meriah di seluruh penjuru
negeri, terutama di daerah yang memiliki banyak populasi Etnis Cina,
seperti di Kalimantan Barat, Palembang, Bangka-Belitung, Jakarta,
Surabaya, Medan,Manado, hingga kawasan pecinan di Semarang.
Dulu,
perayaan Cap Go Meh sebenarnya sempat dilarang. Namun sejak
pemerintahan Gus Dur pada tahun 1999, perayaan yang mengandung tradisi
masyarakat Tionghoa ini kembali digelar ke hadapan masyarakat umum. Di
Indonesia sendiri, Singkawang di Kalimantan Barat didaulat sebagai pusat
perayaan Cap Go Meh terbesar dan termegah. Namun dibalik kemegahan
perayaan tersebut, tahukah Anda sejarah dan asal usul Cap Go Meh itu
sendiri? Artikel ini mengajak Anda untuk mengenal sejarah dan asal usul
Cap Go Meh.
Cap Go Meh merupakan lambang hari kelima belas dan
hari terakhir dari rangkaian masa perayaan Imlek bagi komunitas kaum
mingran Tionghoa yang tinggal di luar China. Istilah Cap Go Meh berasal
dari dialek Hokkien yang bila diartikan secara harafiah bermakna 15 hari
atau malam setelah Imlek. Cap memiliki arti sepuluh, Go adalah lima,
dan Meh berarti malam. Cap Go Meh juga sering disebut Yuan Hsiao Cieh
atau Shang Yuan Cieh dalam bahasa Mandarin.
Perayaan ini awalnya
dirayakan oleh Dinasti Xie Han (206 SM – 221 M), sebagai hari
penghormatan kepada Dewa Thai-yi, dewa tertinggi di langit. Upacara ini
dirayakan secara rutin setiap tahunnya pada tanggal 15 bulan pertama
menurut penanggalan bulan yang merupakan bulan pertama dalam setahun.
Sebelum Dinasti Han berakhir, upacara ini dahulunya dilakukan secara
tertutup, dan hanya untuk kalangan istana. Pun perayaan ini belum
dikenal secara umum oleh masyarakat China.
Upacara ini harus
dilakukan pada malam hari, maka harus disiapkan penerangan dengan
lampu-lampu dari senja hari hingga keesokan harinya. Inilah yang
kemudian menjadi lampion-lampion dan lampu-lampu berwarna-warni yang
menjadi pelengkap utama dalam perayaan Cap Go Meh.
Saat Dinasti
Tang memimpin China, perayaan ini mulai dirayakan oleh masyarakat umum
secara luas. Festival ini merupakan kesempatan masyarakat untuk
bersenang-senang. Saat malam tiba, masyarakat akan turun ke jalan dengan
berbagai bentuk lampion yang telah diberi variasi.
Di malam yang
disinari bulan purnama sempurna, masyarakat akan menyaksikan tarian
naga (masyarakat Indonesia mengenalnya dengan sebutan Liong) dan tarian
Barongsai. Mereka juga akan berkumpul untuk memainkan sebuah permainan
teka-teki dan berbagai macam permainan lainnya, sambil menyantap sebuah
makanan khas berbentuk bola-bola bernama Yuan Xiao. Tentu saja, malam
tidak akan menjadi meriah tanpa kehadiran kembang api dan petasan. Pada
malam itu, para tua dan muda seolah “diwajibkan” untuk bersenang-senang.
Perayaan
Cap Go Meh rupanya tidak hanya dirayakan di Indonesia saja. Beberapa
negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia pun turut merayakan hari
raya ini. Di negara China, festival Cap Go Meh dikenal dengan nama
Festival Shangyuan atau Festival Yuanxiao. Di Vietnam Cap Go Meh dikenal
sebagai Tết Nguyên Tiêu. Sedangkan Hong Kong menyebutnya sebagai
Festival Yuen Siu. Bahkan di beberapa negara, perayaan ini sering kali
disebut sebagai hari Valentine versi China.
Menurut Budayawan
Tionghoa Kalbar, Lie Sau Fat, terdapat versi lain terkait sejarah dan
asal usul perayaan Cap Go Meh. Selain berkaitan dengan Dinasti Han, Cap
Go Meh dikatakan sebagai bagian dari cerita rakyat pada Dinasti Tung
Zhou (770 SM - 256 SM) yaitu ketika para petani memasang lampion yang
disebut Chau Tian Can di sekeliling ladang pada tanggal 15 bulan 1
Imlek.
Pemasangan lampion tersebut bertujuan untuk mengusir hama
dan binatang perusak tanaman. Kala itu, para petani juga akan mengamati
perubahan api pada lampion, untuk mengetahui cuaca sepanjang tahun
kedepan. (VAL)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar